A.
Realistic Mathematics Education (RME)
Pembelajaran
matematika selama ini terlalu dipengaruhi pandangan bahwa matematika adalah
alat yang siap pakai. Pandangan ini mendorong guru bersikap cenderung memberi
tahu konsep/ sifat/ teorema dan cara menggunakannya. Guru cenderung mentransfer
pengetahuan yang dimiliki ke pikiran anak dan anak menerimanya secara pasif dan
tidak kritis. Adakalanya siswa menjawab soal dengan benar namun mereka tidak
dapat mengungkapkan alasan atas jawaban mereka. Siswa dapat menggunakan rumus
tetapi tidak tahu dari mana asalnya rumus itu dan mengapa rumus itu digunakan.
Keadaan demikian mungkin terjadi karena di dalam proses pembelajaran tersebut
siswa kurang diberi kesempatan dalam mengungkapkan ide-ide dan alasan jawaban
mereka sehingga kurang terbiasa untuk mengungkapkan ide-ide atau alasan dari
jawabannya.
Perubahan
cara berpikir yang perlu sejak awal diperhatikan ialah bahwa hasil belajar
siswa merupakan tanggung jawab siswa sendiri. Artinya bahwa hasil belajar siswa
dipengaruhi secara langsung oleh karakteristik siswa sendiri dan pengalaman
belajarnya. Tanggung jawab langsung guru sebenarnya pada penciptaan kondisi
belajar yang memungkinkan siswa memperoleh pengalaman belajar yang baik
(Marpaung,dalam P4TK 2010). Pengalaman belajar akan terbentuk
apabila siswa ikut terlibat dalam pembelajaran yang terlihat dari aktivitas
belajarnya.
1.
Karakteristik RME
Menurut Treeffers (dalam Suharta, 2003 : 1-5),
karakteristik RME adalah menggunakan konteks ‘dunia nyata’ ,model-model, produksi
dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (intertwinment).
a)
Menggunakan Konteks ‘Dunia Nyata’
Gambar berikut menunjukan dua proses matematisasi yang berupa siklus di
mana ‘dunia nyata’ tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai
tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika.
Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah konstekstual (‘dunia
nyata’), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara
langsung. Proses penyaringan (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata
dinyatakan oleh De Lange (dalam Suharta, 2003 : 4), sebagai matematisasi
konseptual.
Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang
lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matemika ke
bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu,
untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari
perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of
everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari, dikutip
dari Cinzia Bonotto (dalam Suharta, 2003 : 4).
b)
Menggunakan Model-model (matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model
matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models).
Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi
real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah
model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan Formalisasi
model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui
penalaran matematika model-of akan bergeser menjadi model-for masalah
yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematik formal.
c)
Menggunakan produksi dan kontruksi
Streefland (dalam Suharta, 2003 : 4), menekankan bahwa dengan pembuatan
“produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang
mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa
yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi
dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi
pengetahuan matematika formal.
d)
Menggunakan Interaktif
Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang
mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa
negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau
refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal
siswa.
e)
Menggunakan Keterkaitan (intertwinment)
Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah
esensial jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang
yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan
matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak
hanya aritmatika, aljabar atau geometri tetapi juga bidang lain.
2.
Prinsip Utama RME
Menurut Asikin
(2001 : 2), prinsip utama dalam RME adalah sebagai berikut :
a)
Guided
Reinvention Dan Progressive Mathematization
Melalui topik-topik yang disajikan siswa harus diberi kesempatan
untuk mengalami sendiri yang sama sebagaimana konsep matematika ditemukan
b)
Didactial
Phenomenology
Topik-topik matematika disajikan atas dua pertimbangan
yaitu aplikasinya serta konstribusinya untuk pengembangan konsep-konsep
matematika selanjutnya
c)
Self
Developed Models Peran Self
developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi
konkrit atau dari matematika informal ke bentuk formal, artinya siswa membuat
sendiri dalam menyelesaikan masalah.
Selain
itu Prinsip RME menurut Van den Heuvel–Panhuizen dalam P4TK 2010 adalah
sebagai berikut.
a) Prinsip aktivitas,
yaitu matematika adalah aktivitas
manusia. Pembelajar harus aktif baik
secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika.
b) Prinsip
realitas, yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalah-masalah yang
realistik atau dapat dibayangkan oleh siswa.
c) Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman,
yaitu dari mampu
menemukan solusi suatu
masalah kontekstual atau realistik
secara informal, melalui
skematisasi memperoleh
pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu
masalah matematis secara formal.
d) Prinsip jalinan,
artinya berbagai aspek
atau topik dalam
matematika jangan dipandang dan
dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain
sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu secara lebih
baik.
e) Prinsip
interaksi, yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan
harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya dalam menyelesaikan
suatu masalah kepada
yang lain untuk
ditanggapi, dan menyimak
apa yang ditemukan orang lain dan
strateginya menemukan itu serta menanggapinya.
f)
Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu
diberi kesempatan untuk menemukan (re-invention) pengetahuan matematika secara
terbimbing.
3.
Penguasaan Materi Ajar Realistic Mathematic
Education (RME)
Menurut Putman (dalam Asmin, 2002 : 6-7), tujuan
pengajaran matematika adalah pencapaian transfer belajar. Salah satu aspek
penting dalam pencapaian transfer belajar matematika itu agar siswa menguasai
konsep-konsep matematika dan keterampilan RME sehingga dapat diaplikasikan
dalam pemecahan masalah. Dari semua aspek yang telah dikemukakan di atas,
tidaklah mengherankan jika dijumpai kenyataan bahwa penguasaan materi ajar RME
dari peserta didik masih perlu dikemas dengan lebih menarik. Lebih dari itu,
adanya kenyataan bahwa peserta didik tidak mampu menyelesaikan soal atau masalah
yang sedikit saja keluar dari kurikulum atau dari buku paket.
Menurut Suharta (dalam Asmin, 2002 : 7), dalam pengajaran
matematika realistik, dibutuhkan upaya (1) penemuan kembali terbimbing dan
matematisasi progresif, artinya pembelajaran matematika realistik harus
diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengalami sendiri proses
penemuan matematika ;(2) fenomena didaktik, artinya pembentukan situasi dalam
pemecahan masalah matematika realistik harus menetapkan aspek aplikasi dan
mempertimbangkan pengaruh proses dari matematisasi progresif; (3) mengmbangkan
model-model sendiri, artinya pemecahan masalah matematika realistik harus mampu
dijembatani melalui pengembangan model-model yang diciptakan sendiri oleh siswa
dari yang konkrit menuju situasi abstrak, atau model yang diciptakan sendiri
oleh siswa untuk memecahkan masalah,
dapat menciptakan kreasi dalam keprbadian siswa melalui aktifitas di bawah
bimbingan guru.
4.
Pertimbangan Menggunakan Pendekatan Realistic
Mathematics Education (RME)
Pembelajaran matematika menggunakan realistik sebagai
satu alternatif dari sekian banyak pendekatan yang dilakukan. Meskipun tak ada
cara yang terbaik dalam pembelajaran ataupun cara belajar, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Entwistle (dalam Suherman, 2003 : 150), “There can be no
‘right’ way to study or ‘best’ way to tech…”.
Menurut Mustaqimah (dalam Asmin, 2002 :10) keunggulan Realistic
Mathematics Education adalah sebagai berikut :
1) karena
siswa membangun sendiri pengetahuannya, maka siswa tidak mudah lupa
denganpengetahuannya ;
2)
suasana
dalam proses pembelajaran ; menyenangkan karena manggunakan realitas kehidupan
;
3)
siswa
merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya ;
4)
memupuk
kerjasama dalam kelas ;
5)
melatih
keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya ;
6)
melatih
siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat
7)
pendidikan
berbudi pekerti, misalnya : saling kerjasama dan menghormati teman yang sedang
berbicara.
Dikaitkan dengan prinsip-prinsip pembelajaran dengan
pendekatan matematika realistik, berikut ini merupakan rambu-rambu
penerapannya, (Suherman, 2003 : 151) :
1)
bagaimana
“guru” menyampaikan matematika kontekstual sebagai starting point pembelajaran
?
2)
bagaimana
“guru” menstimulasi, membimbing, dan memfasilitasi agar prosedur, algoritma,
symbol, skema dan model, oleh siswa mengarahkan mereka untuk sampai kepada
matematika formal?
3)
bagaimana
“guru” memberi atau mengarahkan kelas, maupun individu untuk menciptakan free
production, menciptakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal atau
menginterpretasikan problem kontekstual, sehingga tercipta berbagai macam
pendekatan, atau model penyelesaian, atau algoritma ?
4)
bagaimana
“guru” membuat kelas bekerja secara interaktif sehingga interaksi diantara
mereka antara siswa dengan siswa dalam kelas kecil, dan antara anggota-anggota
kelas dalam presentasi umum, serta antara siswa dan guru?
5)
bagaimana
“guru” membuat jalinan antara topik dengan topik lain, dan antara satu simbol
dengan simbol lain di dalam rangkaian topik matematika ?
Sebuah laporan
penelitian terhadap implementasi pembelajaran matematika berdasarkan realistik
mengatakan bahwa :
1)
sekurang-kurangnya
telah mengubah sikap siswa menjadi lebih tertarik terhadap matematika ;
2)
pada
umumnya siswa menyenangi matematika dengan pendekatan pembelajaran yang
diberikan dengan alasan cara belajarnya berbeda (dari biasanya),
pertanyaan-pertanyaannya menantang, adanya pertanyaan-pertanyaan tambahan
sehingga menambah wawasan, lebih mudah mempelajarinya karena persoalannya
menyangkut kehidupan sehari-hari, di kutip dari Turmudi (dalam Suherman, 2003).
Beberapa rekomendasi hasil studi tersebut antara lain mengingat bahwa tidak
ada cara belajar dan mengajar yang terbaik, dikutip dari Nisbet (dalam
Suherman, 2003 : 452), maka pendekatan realistik perlu dipertimbangkan untuk
dijadikan sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika.
5.
Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik
Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem
formal, terlebih dahulu siswa dibawa ke ‘situasi informal’ , Misalnya
pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama
(misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal
anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal). Setelah
siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru dikenalkan istilah
pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan RME) di
mana siswa sejak awal sudah dicekcoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis
pecahan.
Jadi, Pembelajaran matematika realistik diawali dengan
fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan
kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam
masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
RME di sekolah
dapat dideskripsikan sebagai berikut :
a.
Guru menyiapkan 1 atau 2 soal realistik (ada kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari) yang akan dikerjakan siswa secara informal atau coba-coba (karena
langkah penyelesaian formal unutk menyelesaikan soal tersebut belum diberikan)
;
b.
Guru mengumpulkan hasil pekerjaan siswa ;
c.
Guru mengoreksi hasil pekerjaan siswa dengan berprinsip pada penghargaan
terhadap keseragaman jawaban siswa dan konstribusi siswa;
d.
Guru dapat menyuruh beberapa siswa untuk menjelaskan temuannya di dalam
kelas;
Dengan tanya jawab, guru baru menunjukan langkah formal yang diperlukan untuk menyelesaikan soal tersebut. Bisa didahului dengan penjelasan tentang materi pendukungnya, (Suyitno, 2004 : 37).
Sumber :
- Suharta, Putu Gusti I .2003. Matemtika Realistik : Apa dan bagaimana?.Singaraja: FMIPA IKIP Negeri Singaraja.
- Asikin, M. 2002. RME Prospek dan Alternatif Model Pembelajarannya. Makalah seminar disajikan dalam seminar Nasional Matematika di Jurusan matematika. Semarang: FMIPAUNNES
- P4TK Matematika. 2010. Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Realistik di SMP. Yogyakarta
- Asmin. 2002. Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan kendala yang muncul di lapangan.Medan: FMIPA Universitas Negeri Medan. Teredia di:http://www.depdiknas.go.id/jurnal/44/asman.html
- Suherman, E dkk.2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: FMIPA UPI.
- Suyitno, A. 2004. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika. Semarang : Jurusan Matematika FMIPA UNNES. Tim PPPG matematika, 2005. Mater Pembinaan Matematika SMP di Daerah Tahun 2005. Yogyakarta : Depdiknas.
No comments:
Post a Comment